Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) baru-baru ini melontarkan pernyataan yang mengejutkan mengenai Cloudflare, menuduhnya sebagai penyokong infrastruktur untuk situs judi online. Temuan ini mencakup lebih dari 76 persen situs judi yang menggunakan layanan Cloudflare berdasarkan survei yang dilakukan pada awal November 2025.
Dalam laporan tersebut, dibeberkan pula bahwa Cloudflare belum terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) di Indonesia, yang menimbulkan kemungkinan pemblokiran terhadap layanan internet tersebut. Situasi ini menarik perhatian banyak pihak, terutama para pelaku industri yang mengandalkan Cloudflare untuk operasional mereka.
Tidak hanya itu, tuduhan ini juga mengundang respons beragam dari para ahli. Salah satunya, Alfons Tanujaya, seorang pengamat Teknologi Informasi dan Keamanan Siber, yang berpendapat bahwa penilaian terhadap Cloudflare sebagai “sarang judi online” kurang tepat. Menurutnya, meskipun banyak penyedia judi online menggunakan layanan Cloudflare sebagai proksi untuk menyamarkan alamat IP mereka, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak perusahaan yang sah juga mengandalkan layanan tersebut.
Alfons menekankan relevansi Cloudflare dalam industri digital, di mana layanan DDoS mitigation yang mereka tawarkan menjadi standar. Karenanya, banyak perusahaan seperti bank, e-commerce, dan portal berita, termasuk di Indonesia, tergantung pada infrastruktur yang disediakan oleh Cloudflare untuk menjaga kelancaran operasional mereka. Ini menunjukkan posisi unik Cloudflare di pasar layanan internet.
Di sisi lain, dia mengakui bahwa langkah Komdigi untuk memblokir Cloudflare akan membawa dampak besar. Potensi gangguan terhadap berbagai layanan digital di Indonesia akan meningkat, dan lebih dari itu, banyak perusahaan berisiko mengalami downtime situs yang dapat mengakibatkan kerugian finansial yang signifikan.
Risiko Pemblokiran Cloudflare terhadap Ekosistem Digital Indonesia
Keputusan untuk memblokir layanan Cloudflare dipandang sebagai langkah yang berisiko, mengingat banyaknya perusahaan yang menggantungkan keberlangsungan operasional mereka pada layanan ini. Jika pemblokiran benar-benar terjadi, maka alternatif lain harus segera dicari oleh banyak perusahaan. Di bagian lainnya, mesti dipikirkan juga dampak jangka panjang dari keputusan ini untuk ekosistem digital nasional.
Alfons menggarisbawahi bahwa meskipun alternatif seperti Akamai ada, kehadiran Cloudflare sebagai market leader sangat sulit untuk diabaikan. “Kualitas layanan, harga yang kompetitif, dan reliabilitas yang tinggi menjadi alasan banyak perusahaan memilih Cloudflare dibanding penyedia lain,” ujarnya. Ini menambah kompleksitas dalam situasi yang sedang dihadapi oleh Komdigi.
Sikap Cloudflare yang tidak kunjung mendaftar sebagai PSE pun menjadi sorotan. Alfons menilai bahwa keharusan untuk mendaftar bukanlah pilihan, melainkan keharusan hukum yang berlaku. Secara legal, setiap penyedia layanan yang ingin beroperasi di Indonesia memang diwajibkan untuk memenuhi regulasi yang berlaku, termasuk pendaftaran sebagai PSE.
Pentingnya Hukuman dan Masa Transisi dalam Pemblokiran
Dalam konteks pemblokiran, ada suatu kebutuhan mendasar untuk memberikan waktu transisi yang memadai bagi perusahaan-perusahaan digital yang terdampak. Alfons menyarankan agar regulator memberikan pengumuman terlebih dahulu dan menetapkan jangka waktu, misalnya dua bulan, sebelum tindakan pemblokiran dilaksanakan.
Hal ini bertujuan untuk menghindari kekacauan yang lebih besar di lapangan. “Jika Cloudflare masih enggan untuk memenuhi kewajiban pendaftaran, maka tidak ada pilihan lain selain pemblokiran,” lanjut Alfons. Ini menegaskan perlunya ada keseimbangan antara ketegasan regulator dalam menegakkan hukum dan mencegah gangguan pada layanan yang vital bagi masyarakat.
Di sisi lain, respons komunitas bisnis juga menjadi unsur penting. Jika Cloudflare benar-benar terpaksa ditutup aksesnya, mereka harus segera beradaptasi dan mencari solusi agar tidak menyebabkan kegagalan dalam layanan. Ekosistem digital Indonesia memerlukan kebijakan yang cermat dan terukur agar tidak merugikan berbagai pihak yang terlibat.
Menentukan Langkah Selanjutnya untuk Keberlanjutan Digital
Menyusul situasi yang berkembang, langkah selanjutnya bagi Komdigi dan pemangku kepentingan lainnya adalah melakukan evaluasi yang mendalam terhadap konsekuensi pemblokiran. Sebab, keputusan ini tidak hanya mempengaruhi cloud computing, tetapi juga seluruh aspek layanan yang bergantung pada jaringan internet.
Selain itu, perlu diusut lebih lanjut mengenai bagaimana Cloudflare berinteraksi dan berkontribusi dalam ekosistem digital di Indonesia. Hal ini akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang apakah langkah pemblokiran akan menguntungkan atau justru merugikan banyak pihak.
Temuan mengenai penggunaan Cloudflare oleh situs judi online membuka wacana tentang perlunya langkah-langkah preventif dan regulasi yang tepat. Keterlibatan semua pihak, mulai dari pemerintah hingga pemangku kepentingan bisnis, akan sangat krusial untuk menciptakan lingkungan digital yang sehat dan berkelanjutan ke depannya.




