Tahun 2025 terbukti menjadi periode yang penuh tantangan bagi pasar saham Indonesia. Peristiwa yang paling diingat adalah jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) setelah libur panjang Lebaran, yang mengguncang para investor dan pelaku pasar.
Pada tanggal 8 April 2025, IHSG mengalami penurunan tajam sebesar 9,1%, memaksa Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk menghentikan perdagangan di seluruh pasar selama 30 menit. Penurunan tersebut menjadi salah satu momen panic selling paling parah dalam sejarah.
Keadaan pasar yang “kaget” ini disebabkan oleh akumulasi sentimen negatif yang terjadi selama periode libur, khususnya kekhawatiran atas potensi perang dagang baru setelah pengumuman “Tarif Trump”. Investor seolah berada dalam kondisi tertekan saat itu.
Saat itu, IHSG merosot hingga mencapai level 5.912,06. Tercatat 552 saham mengalami penurunan, sementara hanya 9 saham yang naik. Dengan nilai transaksi mencapai Rp1,93 triliun dan melibatkan 1,59 miliar saham, kondisi ini membuat kapitalisasi pasar juga ikut tergerus menjadi Rp10.218 triliun.
Meski ada kepanikan menyelimuti pasar, Lo Kheng Hong, seorang investor legendaris di Indonesia, justru memiliki pandangan berbeda. Dalam situasi krisis tersebut, Lo menganggap bahwa ini adalah sebuah peluang bagi investor jangka panjang untuk membeli saham berkualitas dengan harga yang lebih terjangkau.
Lo menyatakan bahwa anjloknya IHSG bukanlah akhir segalanya, melainkan kesempatan langka untuk membeli saham. Dia bahkan menyebut kondisi ini sebagai “hujan emas” yang harus dimanfaatkan oleh para investor.
Di tengah ketidakpastian pasar, Lo terus melakukan pembelian saham dan percaya bahwa ini adalah waktu yang baik untuk berinvestasi. “Buy in bad times,” katanya menegaskan pentingnya mengambil langkah strategis saat pasar sedang lesu.
Penurunan Pasar dan Tanggapan Investor Terkenal
Pada tanggal 18 Maret 2025, IHSG mengalami penurunan sampai 7%, yang cukup mengejutkan banyak investor, termasuk Lo. Dia sedang aktif membeli saham di saat pasar mulai memburuk, dan penurunan tersebut hanya memicu dia untuk lebih agresif dalam berinvestasi.
Dia menyadari bahwa banyak saham mengalami penurunan harga karena keluarnya dana asing dari pasar modal, sehingga saham-saham blue chip juga terkena dampak. Dalam situasi ini, Lo memutuskan untuk menarik semua dana dari Reksadana dan menjual seluruh Obligasi untuk berfokus pada saham-saham yang dianggap memiliki potensi tumbuh.
Dengan keberanian dan strateginya, Lo berusaha membeli saham-saham yang harganya turun drastis. Dia berpendapat bahwa keluar dari pasar hanya akan merugikan investor, dan justru pemilihan saham yang tepat di waktu yang sulit akan menghasilkan keuntungan di masa depan.
Selang waktu, sentimen negatif mulai mereda dan IHSG perlahan-lahan bangkit. Pada 8 Desember 2025, IHSG berhasil mencapai level tertingginya sepanjang sejarah, di mana ditutup pada posisi 8.710,695 dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp16.004 triliun.
Perkembangan IHSG Menuju Akhir Tahun 2025
Sampai penutupan perdagangan pada 15 Desember, kapitalisasi pasar BEI tercatat mencapai Rp15.787 triliun yang setara dengan US$ 947 miliar. Rata-rata nilai transaksi harian mencapai Rp17,67 triliun, menunjukkan likuiditas yang sangat positif dalam pasar saham Indonesia.
Pencapaian IHSG yang cukup signifikan mencerminkan bahwa ekosistem pasar modal Indonesia tidak hanya tumbuh dari segi jumlah investor tetapi juga dari likuiditas perdagangan. Hal ini menunjukkan ketahanan pasar terhadap dinamika ekonomi global yang bergejolak.
Selama lima bulan berturut-turut dari bulan Juli hingga November, IHSG selalu ditutup di zona hijau, menandakan tren penguatan yang berkelanjutan. Ini membuat banyak analis lebih optimis menjelang akhir tahun, apalagi jika aksi window dressing benar-benar terjadi.
Pada Desember, ada harapan bahwa IHSG akan terus naik, dengan kemungkinan terjadinya akumulasi saham oleh manajer investasi. Ini bisa saja menandai momen keemasan bagi IHSG untuk menutup tahun 2025 dengan catatan positif.
Risiko Potensial dan Peluang di Pasar Saham
Walau IHSG menunjukkan tren peningkatan, penting untuk diingat bahwa banyaknya saham konglomerasi yang mengalami penurunan dapat memicu risiko bagi IHSG di kemudian hari. Jika saham-saham konglomerasi turun, bisa jadi IHSG juga akan terpengaruh.
Meski demikian, pasar berharap IHSG tetap dalam zona hijau, terutama dengan adanya rotasi dari saham konglomerasi ke saham blue chip yang tergabung dalam indeks LQ45 dan IDX30. Namun, indeks saham unggulan seperti LQ45 dan IDX30 tercatat masih tertinggal dibanding IHSG yang telah naik lebih dari 20%.
Dalam keadaan makro yang semakin baik menjelang akhir tahun, prediksi akan semakin positif terkait window dressing. Sentimen dari kebijakan The Fed juga memberi angin segar bagi aset berisiko di pasar berkembang, termasuk Indonesia.
Bank Indonesia pun turut berperan aktif dengan memangkas suku bunga acuan sebanyak 125 bps sepanjang tahun. Suku bunga yang menurun diharapkan akan memicu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya beli masyarakat.
Kombinasi dari penurunan suku bunga, stimulus fiskal besar-besaran, dan pergeseran ke saham blue chip menciptakan peluang menarik menjelang akhir tahun 2025. Ini bisa menjadi kesempatan bagi investor untuk berfokus pada saham dengan fundamental yang kuat.




