Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) berusaha keras untuk mengajukan pengampunan bagi wajib pajak yang tak patuh melalui mekanisme yang dikenal sebagai Tax Amnesty Jilid III. Sejak November 2024, rancangan undang-undang mengenai perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, tetapi tak kunjung membuahkan hasil. Akhirnya, usulan tersebut kembali didorong ke Prolegnas Prioritas 2026.
Walaupun demikian, rencana ini tampaknya mendapatkan tawaran dari pihak-pihak tertentu, namun Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara tegas menolak gagasan pengampunan pajak tersebut. Menurutnya, Tax Amnesty Jilid III justru dapat menciptakan sinyal yang salah bagi masyarakat terkait kepatuhan pajak.
Purbaya menjelaskan bahwa sering kali menawarkan pengampunan pajak dapat merugikan para pembayar pajak yang selama ini taat. Jika pembayar pajak melihat adanya kemungkinan pengampunan di masa mendatang, mereka mungkin berpikir bahwa melanggar pajak bukanlah masalah serius.
Mengapa Tax Amnesty Menjadi Sorotan di Kalangan Ekonomi dan Pajak?
Untuk memahami dampak dari proyek pengampunan pajak ini, penting untuk meneliti sejarah dan hasil dari amnesti pajak sebelumnya. Pengampunan pajak jilid pertama dilaksanakan pada tahun 2016-2017, yang diikuti oleh hampir satu juta wajib pajak. Pada saat itu, pemerintah berhasil mengumpulkan dana sekitar Rp114 triliun, tetapi beberapa tahun kemudian kembali menerapkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dengan hasil yang bervariasi.
Meski pada pandangan awal tampak menguntungkan, bagaimana dampak jangka panjang dari program-program ini terhadap kepatuhan pajak masih menjadi bahan diskusi. Banyak yang berpendapat bahwa pengampunan pajak akan menciptakan lingkungan di mana wajib pajak merasa ada “jalan keluarnya” untuk melanggar aturan dan melunasi pajak mereka dengan tarif diskon di kemudian hari.
Selama diskusi, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, mengingatkan tentang pentingnya tidak mengabaikan kepatuhan pajak yang seharusnya dijunjung tinggi. Menurutnya, ketidakpatuhan wajib pajak yang didorong oleh pengampunan pajak akan mempengaruhi sentimen terhadap perpajakan secara keseluruhan dan menciptakan ketidakadilan bagi mereka yang sudah taat.
Risiko dan Implikasi Sosial dari Pengampunan Pajak
Penerapan yang berulang dari pengampunan pajak, menurut Prianto, dapat menyebabkan terjadinya perilaku “wait and see” di kalangan wajib pajak. Mereka yang tidak patuh cenderung menunda kewajiban mereka dengan harapan ada program pengampunan di masa depan. Hal ini berarti, upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak justru menjadi tantangan yang semakin rumit.
Lebih jauh lagi, masyarakat yang telah membayar pajak secara penuh merasa dirugikan ketika melihat bahwa pelanggar pajak bisa “diampuni” dengan harga yang lebih rendah. Hal ini tidak hanya menciptakan ketidakpuasan, tetapi juga dapat membawa dampak negatif bagi kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan.
Di sisi lain, M Rizal Taufikurahman dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai penolakan Menteri Keuangan adalah langkah yang tepat. Terlepas dari penolakan tersebut, DPR tetap berupaya agar pengampunan pajak Jilid III dapat menjadi bagian dari legislasi yang disetujui. Dalam kaitannya dengan hal ini, dukungan dari pemerintah akan menjadi kunci untuk memfasilitasi perumusan undang-undang ini.
Alternatif Menuju Sistem Perpajakan yang Lebih Adil
Alih-alih memperkenalkan pengampunan pajak secara berkala, para ahli sepakat perlunya membangun sistem perpajakan berdasarkan prinsip keadilan dan kepatuhan. Untuk mengatasi masalah ini, Direktorat Jenderal Pajak perlu berfokus pada kebijakan yang berbasis layanan dan membangun kepercayaan. Ini termasuk memperbaiki kualitas layanan dan mengurangi birokrasi yang menghambat kepatuhan.
Penguatan fasilitas pelayanan akan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban mereka. Langkah-langkah seperti menyederhanakan sistem administrasi dan memastikan kepastian hukum sangat penting dilakukan agar masyarakat dapat merasa yakin saat melakukan kewajiban perpajakan.
Berdasarkan pendapat para ahli, menjadikan pajak sebagai investasi yang menarik bagi masyarakat jauh lebih baik daripada menciptakan program pengampunan yang cenderung menimbulkan dampak negatif. Dengan demikian, reformasi struktural dalam sistem perpajakan harus menjadi fokus utama dalam menjaga kredibilitas dan keadilan.