Aliansi Korban Wanaartha Life menggelar aksi damai di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia pada Rabu, 10 Desember kemarin. Dalam aksi tersebut, mereka meminta pemerintah untuk segera mendeportasi tiga pemilik perusahaan asuransi yang kini berada di luar negeri.
Ketiga pemilik tersebut adalah Evelina Pietruschka, Manfred Pietruschka, dan Rezananta Pietruschka, yang dianggap bertanggung jawab atas kerugian besar yang dialami nasabah. Salah satu korban, Alim, mengungkapkan harapannya agar pemerintah menindaklanjuti kasus pelanggaran hukum yang berkaitan dengan Wanaartha Life yang sudah berlangsung selama lima tahun.
“Kami berharap pemerintah dapat memberikan perhatian kepada kami agar dapat mendeportasi mereka kembali ke Indonesia. Proses hukum ini sudah terlalu lama, dan kami meminta bantuan dari berbagai instansi,” ujar Alim saat aksi damai di Jakarta Pusat.
Dalam aksinya, korban pemegang polis mencapai 29 ribu orang dengan total kerugian yang menghebohkan, mencapai Rp15,9 triliun. Uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak-anak malah raib dan diduga dibawa lari oleh pihak yang berwenang.
Kesedihan mendalam dirasakan oleh para korban, salah satunya Rosni yang mengalami kerugian hingga Rp1,2 miliar. Uang tersebut ia siapkan untuk masa tuanya, tetapi kini hilang begitu saja.
Proses Hukum yang Berlarut dan Harapan Akan Keadilan
Rosni menceritakan betapa pentingnya dana tersebut untuk masa depannya. Ia bertanya-tanya, “Di masa tua ini, apa yang bisa saya lakukan untuk mendapatkan penghasilan?” Menuritnya, tidak ada penanganan dari pemerintah yang cukup baik dalam masalah ini, sehingga harapan akan keadilan semakin memudar.
Ketua Aliansi Korban Wanaartha, Johanes Guntoro, menyampaikan bahwa audiensi mereka dengan pihak Kementerian Luar Negeri menunjukkan betapa seriusnya kondisi yang dihadapi para korban. Dia menekankan bahwa ini adalah kejahatan yang harus ditangani dengan serius.
Program Bantuan Sosial yang seharusnya membantu para korban merasa tidak memadai. Banyak yang merasa terasing dan tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah, yang seharusnya hadir di saat-saat sulit seperti ini.
“Kami telah berupaya berkomunikasi dengan instansi terkait, tetapi keadilan masih jauh dari harapan kami,” kata Guntoro. Kesedihan dan harapan yang tak kunjung pudar membuat banyak dari mereka merasa putus asa.
Demonstrasi diadakan sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Banyak yang merasa suara mereka tidak didengar oleh pihak berwenang, meskipun sudah berusaha menyuarakan keadaan mereka di berbagai forum.
Dampak Sosial dan Ekonomi dari Kasus Ini
Dampak dari kasus ini tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga merugikan perekonomian lokal. Uang yang semestinya digunakan untuk investasi atau konsumsi masyarakat kini hangus sia-sia. Hal ini berpotensi menambah angka kemiskinan di masyarakat.
“Seharusnya, dana yang hilang dapat digunakan untuk membiayai pendidikan dan kebutuhan lainnya. Namun, kejadian ini justru memperburuk keadaan ekonomi kami,” ungkap Alim dengan penuh harap.
Ketidakpastian mengenai proses hukum yang berlangsung menambah sakit hati para korban. Dengan berbagai instansi terlibat dan upaya hukum yang berlarut-larut, mereka merasa terjebak dalam lingkaran administrasi yang tidak ada ujungnya.
Pihak berwenang diharapkan dapat bertindak lebih cepat untuk menyelesaikan masalah ini. “Kami butuh kejelasan, bukan janji-janji yang tak terpenuhi,” tambah Rosni yang kini mengandalkan bantuan dari kerabat.
Setiap hari yang berlalu menambah rasa ketidakpastian, dan setiap korban menuntut agar keadilan ditegakkan secepatnya. Harapan akan masa depan yang lebih baik tetap menyala, meskipun situasi semakin sulit.
Pihak Berwenang dan Tindakan yang Diharapkan
Pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengambil langkah dengan mencabut izin usaha Wanaartha sesuai dengan surat keputusan yang berlaku. Pengawasan dan likuidasi diharapkan dapat memulihkan sebagian dari kerugian yang dialami oleh para korban.
Namun, tindakan tersebut dianggap belum cukup. Para korban meminta langkah lebih lanjut agar para pemilik Wanaartha Life dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan mereka. Ketidakpastian hukum menjadi kegalauan tersendiri bagi banyak pihak yang terlibat.
Korban juga mengharapkan agar pemerintah Indonesia bekerja sama dengan pemerintah asing untuk mempercepat proses pemulangan pemilik perusahaan. “Kami berkeyakinan bahwa penegakan hukum yang adil harusnya tidak mengenal batas,” ujar Guntoro.
Situasi semakin mendesak, karena beberapa pemilik perusahaan kini tengah berusaha mengajukan suaka di luar negeri. “Kami meminta agar permohonan tersebut ditolak untuk memastikan mereka kembali dan menjalani proses hukum,” tambah Guntoro.
Dengan harapan tinggi akan keadilan, aksi demonstrasi ini menjadi simbol perlawanan para korban. Apakah suara mereka akan didengar? Waktu yang akan membuktikan.




